Kamis, 29 Mei 2008

Persahabatan

Persahabatan sejati itu layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya. Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu di dalam hatimu dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya.

Selasa, 20 Mei 2008

MASALAH PENGUMPULAN, PENDOKUMENTASIAN DAN PENGKAJIAN MANUSKRIP MELAYU

Walaupun sudah banyak sarjana yang berusaha mengkaji sastra Melayu sejak satu abad yang lalu, tetapi hingga kini pengetahuan kita mengenai sastra itu masih terbatas pada manuskrip yang ditulis pada abad 19. Manuskrip-manuskrip itupun sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu di tangan juru tulis.
Sejak abad 14-19 memang dihasilkan manuskrip Melayu, tetapi hingga kini kita tidak mengetahui asal-usul manuskrip itu. Misalnya teks-teks yang dirujuk oleh Raja Ali Haji dalam bukunya Tuhfat al-Nafis yang ditulis pada abad 19 itu sudah tidak dapat dijumpai lagi. Hal ini disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri, peperangan, perpindahan, dan bencana alam. Namun pada abad 19, sebagian besar manuskrip Melayu itu telah dikumpulkan dan disalin ulang di Johor dan Kepulauan Riau.

PENGUMPULAN DAN PEROLEHAN MANUSKRIP MELAYU
Berdasarkan penelitian, setiap manuskrip Melayu yang masih ada itu ternyata penuh dengan liku-liku sejarah sejak masa lampau. Ada beberapa motif yang mendorong orang Barat mengumpulkan manuskrip Melayu, diantaranya yaitu karena kepentingan politik, pendidikan, dan ada pula yang didorong oleh minat si pengumpul manuskrip tersebut. Misalnya Roorda Van Eysinga, mula-mula datang ke Indonesia sebagai seorang letnan (dalam tentara). Karena tertarik dengan bahasa Melayu, ia meminta supaya diterjemahkan, dan akhirnya ia berhasil mengumpulkan dan mengkaji beberapa sastra Melayu.
Pada masa pertengahan abad 19 ini dapat dikatakan sebagai puncak pengkajian Melayu. Ini ditandai dengan banyaknya sarjana dari Belanda dan Inggris yang datang ke Nusantara untuk mengumpulkan dan mengkaji manuskrip Melayu, seperti Sir Stamford Raffles, William Marsden, John Leyden, Von de Wall, van der Tuuk dan K.H.C. Klinkert. Selain itu juga banyak pusat penelitian didirikan di Eropa.
Orang Belanda dan Inggris ini berusaha mengumpulkan dan mengkaji manuskrip Melayu dengan bekerjasama dengan masyarakat Melayu sendiri. Namun mereka memasukkan unsur politik dalam kerjasama ini, dan akhirnya mereka berhasil merampas beberapa manuskrip Melayu. Seperti yang terjadi pada Kesultanan Palembang dan Batam, mereka (Belanda) menyerang istana untuk merampas manuskrip yang disimpan di istana.
Disamping peristiwa bersejarah itu, perpindahan manuskrip dari skriptoria istana Kerajaan Melayu kepada orang Eropa juga disebabkan adanya sikap raja-raja Melayu yang meminjamkan manuskrip kerajaan dengan suka rela kepada orang Eropa. Pada abad 18 masyarakat awam sudah mulai belajar menulis dan membaca sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga pada abad ini juga banyak terdapat para penyalin manuskrip bayaran, dan lama-kelamaan terjadi jual-beli manuskrip.
Proses pengumpulan manuskrip Melayu oleh Eropa ini berakhir setelah Indonesia dan Malaysia mencapai kemerdekaan masing-masing. Sekarang manuskrip Melayu itu sebagian besar disimpan di pusat-pusat manuskrip yakni 2503 manuskrip disimpan di Pusat Manuskrip Melayu dan sebanyak 739 buah manuskrip Islam disimpan di Pusat Islam Malaysia. Namun demikian, masih banyak manuskrip Melayu yang disimpan di rumah, masjid dan oleh orang-orang tertentu.

PEMELIHARAAN BIBLIOGRAFI MANUSKRIP MELAYU
Kita bukan saja tidak akan mengetahui keberadaan manuskrip tertentu, akan tetapi sulit juga untuk menggunakannya apabila manuskrip tersebut tidak didokumentasikan dengan teliti. Pendokumentasian ini akan memudahkan mengakses manuskrip ketika diperlukan. Berkaitan dengan hal itu, para sarjana, pengkaji, pengumpul, dan pustakawan telah menghasilkan berbagai katalog, bibliografi dan senarai manuskrip Melayu. Diantaranya adalah bibliografi yang dibuat oleh Ismail Hussein (1974), Ding Choo Ming (1979), Chambert Loir (1980) dan Perpustakaan Negara Malaysia (1984).
Walaupun katalog-katalog itu menjadi rujukan kepada koleksi di perpustakaan, tetapi manuskrip yang disimpan itu tidak disusun menurut subjek seperti halnya pada buku dan majalah di rak terbuka. Sebaliknya, manuskrip Melayu disusun menurut nomor perolehan atau sistem penomoran nama orang yang mengumpul, memiliki atau menghadiahkan manuskrip tersebut.
Pada tahun 1909, Ronkel mencoba mengklasifikasi manuskrip Melayu di Perpustakaan Genootschap. Ia mengelompokkan manuskrip menjad beberapa bidang seperti cerita, legenda, sejarah, undang-undang dan puisi. Pada tahun 1984, Ismail Hussein juga mencoba mengklasifikasi manuskrip Melayu ke dalam bidang prosa, legenda Islam, sejarah, undang-undang, puisi dan teologi. Namun demikian, hingga kini manuskrip-manuskrip yang disimpan di perpustakaan masih disusun menurut nomor perolehan manuskrip tersebut.

MASALAH MENDAPATKAN MANUSKRIP MELAYU
Seperti halnya bahan pustaka lainnya, untuk mendapatkan manuskrip Melayu dari perpustakaan juga bergantung pada ada atau tidaknya manuskrip yang dibutuhkan itu, ketersediaan petugas yang cakap dan terlatih di perpustakaan, dan juga sarana pendukung lainnya.
Setiap perpustakaan mempunyai cara tersendiri dalam mengurus manuskrip Melayu dalam koleksinya masing-masing. Dan oleh karena perbedaan sistem ini telah mengakibatkan adanya manuskrip yang nomornya berbeda padahal judulnya sama. Oleh karena itu perpustakaan harus menyediakan petugas yang terlatih dan berpengetahuan luas agar dapat memenuhi kebutuhan pemakai.
Banyak sarjana (dimasa lampau) yang ingin mendapatkan manuskrip Melayu untuk penelitian terpaksa harus mencari di perpustakaan di negara-negara Eropa. Hal ini dikarenakan manuskrip Melayu di Eropa sudah didokumentasikan secara sistematis dan mudah di akses.
Seiring dengan kemajuan teknologi, banyak manuskrip yang dahulunya hanya di simpan di Perpustakaan Universitas Leiden dan perpustakaan lain di Eropa itu telah dibuatkan salinannya (fotocopy) dan dapat di akses di perpustakaan lain. Demikian juga halnya dengan manuskrip Melayu yang dahulunya hanya dapat diperoleh di Nusantara itu telah semakin banyak digunakan oleh para sarjana di Eropa dan negara-negara lain.
Mengingat cara memperoleh dan memelihara manuskrip ini berbeda dengan bahan pustaka pada umumnya, maka diperlukan juga peraturan khusus terhadap manuskrip tersebut. Namun sikap kehati-hatian petugas dalam melindungi manuskrip itu sering disalahartikan oleh sebagian orang sebagai sikap yang ingin menghalang-halangi proses mengakses.
Yang terpenting disini ialah peraturan yang dibuat itu harus dipahami oleh semua pihak. Peraturan itu dimaksudkan untuk menghindari kerusakan pada manuskrip tersebut agar generasi yang akan datang masih dapat mengaksesnya juga. Langkah lain yang dapat mengatasi kerusakan dan kehilangan manuskrip bahkan bisa menyebarluaskannya ialah memasukkan teks ke internet. Dengan memasukkan teks ke internet, mikrofilm dan mikrofis pada abad 21 atau penyalinan tangan sebelum abad 20 itu telah banyak membantu menyebarkan manuskrip dengan jauh lebih mudah dan cepat. Dari proses ini yang paling penting ialah dari segi pemeliharaannya, dimana setelah dibuatkan salinannya manuskrip asli dapat disimpan kembali. Dengan demikian konflik antara pemeliharaan di pihak perpustakaan dan penggunaan manuskrip di pihak pemakai dapat teratasi.

Jumat, 16 Mei 2008

Kata2

Smart people learn from their own mistakes.
Smarter people learn from the mistakes of others