Kamis, 26 Juni 2008

UU RI No.43 Th 2007 tentang Perpustakaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2007
TENTANG
PERPUSTAKAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, perpustakaan sebagai wahana belajar
sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan
nasional;
b. bahwa sebagai salah satu upaya untuk memajukan
kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan
wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan
kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar
membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan
perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa
karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam;
d. ba hwa ketentuan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan perpustakaan masih bersifat parsial
dalam berbagai peraturan sehingga perlu diatur
secara komprehensif dalam suatu undang-undang
tersendiri;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d,
perlu dibentuk Undang-Undang tentang
Perpustakaan;
Mengingat:
Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERPUSTAKAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya
tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara
profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian,
informasi, dan rekreasi para pemustaka.
2. Koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam
bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya
rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai
pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan.
3. Koleksi nasional adalah semua karya tulis, karya
cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media
yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan, baik yang
berada di dalam maupun di luar negeri yang dimiliki
oleh perpustakaan di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang
tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara
lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar
negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi
kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan.
5. Perpustakaan Nasional adalah lembaga pemerintah
non departemen (LPND) yang melaksanakan tugas
pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang
berfungsi sebagai perpustakaan pembina,
perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit,
perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian,
dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan
di ibukota negara.
6. Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang
diperuntukkan bagi masyarakat luas sebagai sarana
pembelajaran sepanjang hayat tanpa membedakan
umur, jenis kelamin, suku, ras, agama, dan status
sosial-ekonomi.
7. Perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang
diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di
lingkungan lembaga pemerintah, lembaga
masyarakat, lembaga pendidikan keagamaan, rumah
ibadah, atau organisasi lain.
8. Pustakawan adalah seseorang yang memiliki
kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan
dan/atau pelatihan kepustakawanan serta
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pengelolaan dan pelayanan
perpustakaan.
9. Pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu
perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau
lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan
perpustakaan.
10. Bahan perpustakaan adalah semua hasil karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam.
11. Masyarakat adalah setiap orang, kelompok orang,
atau lembaga yang berdomisili pada suatu wilayah
yang mempunyai perhatian dan peranan dalam
bidang perpustakaan.
12. Organisasi profesi pustakawan adalah perkumpulan
yang berbadan hukum yang didirikan oleh
pustakawan untuk mengembangkan profesionalitas
kepustakawanan.
13. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
15. Sumber daya perpustakaan adalah semua tenaga,
sarana dan prasarana, serta dana yang dimiliki
dan/atau dikuasai oleh perpustakaan.
16. Menteri adalah menteri yang menangani urusan
pemerintahan dalam bidang pendidikan nasional.
Pasal 2
Perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas
pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan,
keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan.
Pasal 3
Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan,
penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk
meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Pasal 4
Perpustakaan bertujuan memberikan layanan kepada
pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta
memperluas wawasan dan pengetahuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa.
BAB II
HAK, KEWAJIBAN, DAN KEWENANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 5
(1) Masyarakat mempunyai hak yang sama untuk:
a. memperoleh layanan serta memanfaatkan dan
mendayagunakan fasilitas perpustakaan;
b. mengusulkan keanggotaan Dewan Perpustakaan;
c. mendirikan dan/atau menyelenggarakan
perpustakaan;
d. berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi
terhadap penyelenggaraan perpustakaan.
(2) Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau
terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak
memperoleh layanan perpustakaan secara khusus.
(3) Masyarakat yang memiliki cacat dan/atau kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial
berhak memperoleh layanan perpustakaan yang
disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan
masing-masing.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 6
(1) Masyarakat berkewajiban:
a. menjaga dan memelihara kelestarian koleksi
perpustakaan;
b. menyimpan, merawat, dan melestarikan naskah
kuno yang dimilikinya dan mendaftarkannya ke
Perpustakaan Nasional;
c. menjaga kelestarian dan keselamatan sumber
daya perpustakaan di lingkungannya;
d mendukung upaya penyediaan fasilitas layanan
perpustakaan di lingkungannya;
e. mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan
dalam pemanfaatan fasilitas perpustakaan; dan
f. menjaga ketertiban, keamanan, dan kenyamanan
lingkungan perpustakaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Pemerintah berkewajiban:
a. mengembangkan sistem nasional perpustakaan
sebagai upaya mendukung sistem pendidikan
nasional;
b. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan
pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber
belajar masyarakat;
c. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan
secara merata di tanah air;
d. menjamin ketersediaan keragaman koleksi
perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih
aksara (transliterasi), alih suara ke tulisan
(transkripsi), dan alih media (transmedia);
e. menggalakkan promosi gemar membaca dan
memanfaatkan perpustakaan;
f. meningkatan kualitas dan kuantitas koleksi
perpustakaan;
g. membina dan mengembangkan kompetensi,
profesionalitas pustakawan, dan tenaga teknis
perpustakaan;
h. mengembangkan Perpustakaan Nasional; dan
i. memberikan penghargaan kepada setiap orang
yang menyimpan, merawat, dan melestarikan
naskah kuno.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
berkewajiban:
a. menjamin penyelenggaraan dan pengembangan
perpustakaan di daerah;
b. menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara
merata di wilayah masing-masing;
c. menjamin kelangsungan penyelenggaraan dan
pengelolaan perpustakaan sebagai pusat sumber
belajar masyarakat;
d. menggalakkan promosi gemar membaca dengan
memanfaatkan perpustakaan;
e. memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di
daerah; dan
f. menyelenggarakan dan mengembangkan
perpustakaan umum daerah berdasar kekhasan
daerah sebagai pusat penelitian dan rujukan tentang
kekayaan budaya daerah di wilayahnya.
Bagian Ketiga
Kewenangan
Pasal 9
Pemerintah berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional dalam pembinaan
dan pengembangan semua jenis perpustakaan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi
penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh
masyarakat untuk dilestarikan dan didayagunakan.
Pasal 10
Pemerintah daerah berwenang:
a. menetapkan kebijakan daerah dalam pembinaan dan
pengembangan perpustakaan di wilayah masingmasing;
b. mengatur, mengawasi, dan mengevaluasi
penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan di
wilayah masing-masing; dan
c. mengalihmediakan naskah kuno yang dimiliki oleh
masyarakat di wilayah masing-masing untuk
dilestarikan dan didayagunakan.
BAB III
STANDAR NASIONAL PERPUSTAKAAN
Pasal 11
(1) Standar nasional perpustakaan terdiri atas:
a. standar koleksi perpustakaan;
b. standar sarana dan prasarana;
c. standar pelayanan perpustakaan;
d. standar tenaga perpustakaan;
e. standar penyelenggaraan; dan
f. standar pengelolaan.
(2) Standar nasional perpustakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai acuan
penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan
perpustakaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar nasional
perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
KOLEKSI PERPUSTAKAAN
Pasal 12
(1) Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan,
dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan
kepentingan pemustaka dengan memperhatikan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
(2) Pengembangan koleksi perpustakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
standar nasional perpustakaan.
(3) Bahan perpustakaan yang dilarang berdasarkan
peraturan perundang-undangan disimpan sebagai
koleksi khusus Perpustakaan Nasional.
(4) Koleksi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan secara terbatas.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyimpanan koleksi
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
penggunaan secara terbatas sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Koleksi nasional diinventarisasi, diterbitkan dalam
bentuk katalog induk nasional (KIN), dan
didistribusikan oleh Perpustakaan Nasional.
(2) Koleksi nasional yang berada di daerah
diinventarisasi, diterbitkan dalam bentuk katalog
induk daerah (KID), dan didistribusikan oleh
perpustakaan umum provinsi.
BAB V
LAYANAN PERPUSTAKAAN
Pasal 14
(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan
berorientasi bagi kepentingan pemustaka.
(2) Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan
perpustakaan berdasarkan standar nasional
perpustakaan.
(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan
perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi.
(4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikembangkan melalui pemanfaatan sumber
daya perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan
pemustaka.
(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai
dengan standar nasional perpustakaan untuk
mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka.
(6) Layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui
kerja sama antarperpustakaan.
(7) Layanan perpustakaan secara terpadu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan melalui jejaring
telematika.
BAB VI
PEMBENTUKAN, PENYELENGGARAAN, SERTA PENGELOLAAN DAN
PENGEMBANGAN PERPUSTAKAAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Perpustakaan
Pasal 15
(1) Perpustakaan dibentuk sebagai wujud pelayanan
kepada pemustaka dan masyarakat.
(2) Pembentukan perpustakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
(3) Pembentukan perpustakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memenuhi syarat:
a. memiliki koleksi perpustakaan;
b. memiliki tenaga perpustakaan;
c. memiliki sarana dan prasarana perpustakaan;
d. memiliki sumber pendanaan; dan
e. memberitahukan keberadaannya ke Perpustakaan
Nasional.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Perpustakaan
Pasal 16
Penyelenggaraan perpustakaan berdasarkan kepemilikan
terdiri atas:
a. perpustakaan pemerintah;
b. perpustakaan provinsi;
c. perpustakaan kabupaten/kota;
d. perpustakaan kecamatan;
e. perpustakaan desa;
f. perpustakaan masyarakat;
g. perpustakaan keluarga; dan
h. perpustakaan pribadi.
Pasal 17
Penyelenggaraan perpustakaan dilakukan sesuai dengan
standar nasional perpustakaan.
Bagian Ketiga
Pengelolaan dan Pengembangan Perpustakaan
Pasal 18
Setiap perpustakaan dikelola sesuai dengan standar
nasional perpustakaan.
Pasal 19
(1) Pengembangan perpustakaan merupakan upaya
peningkatan sumber daya, pelayanan, dan pengelolaan
perpustakaan, baik dalam hal kuantitas maupun
kualitas.
(2) Pengembangan perpustakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan karakteristik,
fungsi dan tujuan, serta dilakukan sesuai dengan
kebutuhan pemustaka dan masyarakat dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(3) Pengembangan perpustakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara
berkesinambungan.
BAB VII
JENIS-JENIS PERPUSTAKAAN
Pasal 20
Perpustakaan terdiri atas:
a. Perpustakaan Nasional;
b. Perpustakaan Umum;
c. Perpustakaan Sekolah/Madrasah;
d. Perpustakaan Perguruan Tinggi; dan
e. Perpustakaan Khusus.
Bagian Kesatu
Perpustakaan Nasional
Pasal 21
(1) Perpustakaan Nasional merupakan LPND yang
melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang
perpustakaan dan berkedudukan di ibukota negara.
(2) Perpustakaan Nasional bertugas:
a. menetapkan kebijakan nasional, kebijakan
umum, dan kebijakan teknis pengelolaan
perpustakaan;
b. melaksanakan pembinaan, pengembangan,
evaluasi, dan koordinasi terhadap pengelolaan
perpustakaan;
c. membina kerja sama dalam pengelolaan berbagai
jenis perpustakaan; dan
d. mengembangkan standar nasional perpustakaan.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Perpustakaan Nasional bertanggung jawab:
a. mengembangkan koleksi nasional yang
memfasilitasi terwujudnya masyarakat
pembelajar sepanjang hayat;
b. mengembangkan koleksi nasional untuk
melestarikan hasil budaya bangsa;
c. melakukan promosi perpustakaan dan gemar
membaca dalam rangka mewujudkan masyarakat
pembelajar sepanjang hayat; dan
d. mengidentifikasi dan mengupayakan
pengembalian naskah kuno yang berada di luar
negeri.
Bagian Kedua
Perpustakaan Umum
Pasal 22
(1) Perpustakaan umum diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, serta dapat
diselenggarakan oleh masyarakat.
(2) Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota
menyelenggarakan perpustakaan umum daerah yang
koleksinya mendukung pelestarian hasil budaya
daerah masing-masing dan memfasilitasi terwujudnya
masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
(3) Perpustakaan umum yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan
mengembangkan sistem layanan perpustakaan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
(4) Masyarakat dapat menyelenggarakan perpustakaan
umum untuk memfasilitasi terwujudnya masyarakat
pembelajar sepanjang hayat.
(5) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau
kabupaten/kota melaksanakan layanan perpustakaan
keliling bagi daerah yang belum terjangkau oleh
layanan perpustakaan menetap.
Bagian Ketiga
Perpustakaan Sekolah/Madrasah
Pasal 23
(1) Setiap sekolah/madrasah menyelenggarakan
perpustakaan yang memenuhi standar nasional
perpustakaan dengan memperhatikan Standar
Nasional Pendidikan.
(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki koleksi buku teks pelajaran yang
ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan
pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang
mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan
pendidik.
(3) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengembangkan koleksi lain yang mendukung
pelaksanaan kurikulum pendidikan.
(4) Perpustakaan sekolah/madrasah melayani peserta
didik pendidikan kesetaraan yang dilaksanakan di
lingkungan satuan pendidikan yang bersangkutan.
(5) Perpustakaan sekolah/madrasah mengembangkan
layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi
dan komunikasi.
(6) Sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling
sedikit 5% dari anggaran belanja operasional
sekolah/madrasah atau belanja barang di luar
belanja pegawai dan belanja modal untuk
pengembangan perpustakaan.
Bagian Keempat
Perpustakaan Perguruan Tinggi
Pasal 24
(1) Setiap perguruan tinggi menyelenggarakan
perpustakaan yang memenuhi standar nasional
perpustakaan dengan memperhatikan Standar
Nasional Pendidikan.
(2) Perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki koleksi, baik jumlah judul maupun jumlah
eksemplarnya, yang mencukupi untuk mendukung
pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
(3) Perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan
layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi
dan komunikasi.
(4) Setiap perguruan tinggi mengalokasikan dana untuk
pengembangan perpustakaan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan guna memenuhi
standar nasional pendidikan dan standar nasional
perpustakaan.
Bagian Kelima
Perpustakaan Khusus
Pasal 25
Perpustakaan khusus menyediakan bahan perpustakaan
sesuai dengan kebutuhan pemustaka di lingkungannya.
Pasal 26
Perpustakaan khusus memberikan layanan kepada
pemustaka di lingkungannya dan secara terbatas
memberikan layanan kepada pemustaka di luar
lingkungannya.
Pasal 27
Perpustakaan khusus diselenggarakan sesuai dengan
standar nasional perpustakaan.
Pasal 28
Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan
berupa pembinaan teknis, pengelolaan, dan/atau
pengembangan perpustakaan kepada perpustakaan
khusus.
BAB VIII
TENAGA PERPUSTAKAAN, PENDIDIKAN, DAN
ORGANISASI PROFESI
Bagian Kesatu
Tenaga Perpustakaan
Pasal 29
(1) Tenaga perpustakaan terdiri atas pustakawan dan
tenaga teknis perpustakaan.
(2) Pustakawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memenuhi kualifikasi sesuai dengan standar
nasional perpustakaan.
(3) Tugas tenaga teknis perpustakaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dirangkap oleh
pustakawan sesuai dengan kondisi perpustakaan
yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tugas, tanggung jawab,
pengangkatan, pembinaan, promosi, pemindahan
tugas, dan pemberhentian tenaga perpustakaan yang
berstatus pegawai negeri sipil dilakukan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan mengenai tugas, tanggung jawab,
pengangkatan, pembinaan, promosi, pemindahan
tugas, dan pemberhentian tenaga perpustakaan yang
berstatus nonpegawai negeri sipil dilakukan sesuai
dengan peraturan yang ditetapkan oleh penyelenggara
perpustakaan yang bersangkutan.
Pasal 30
Perpustakaan Nasional, perpustakaan umum Pemerintah,
perpustakaan umum provinsi, perpustakaan umum
kabupaten/kota, dan perpustakaan perguruan tinggi
dipimpin oleh pustakawan atau oleh tenaga ahli dalam
bidang perpustakaan.

Pasal 31
Tenaga perpustakaan berhak atas:
a. penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan
jaminan kesejahteraan sosial;
b. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan
pengembangan kualitas; dan
c. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana,
dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang
kelancaran pelaksanaan tugas.
Pasal 32
Tenaga perpustakaan berkewajiban:
a. memberikan layanan prima terhadap pemustaka;
b. menciptakan suasana perpustakaan yang kondusif;
dan
c. memberikan keteladanan dan menjaga nama baik
lembaga dan kedudukannya sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya.
Bagian Kedua
Pendidikan
Pasal 33
(1) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan
tenaga perpustakaan merupakan tanggung jawab
penyelenggara perpustakaan.
(2) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui pendidikan formal dan/atau nonformal.
(3) Pendidikan untuk pembinaan dan pengembangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui kerja sama Perpustakaan Nasional,
perpustakaan umum provinsi, dan/atau
perpustakaan umum kabupaten/kota dengan
organisasi profesi, atau dengan lembaga pendidikan
dan pelatihan.
Bagian Ketiga
Organisasi Profesi
Pasal 34
(1) Pustakawan membentuk organisasi profesi.
(2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berfungsi untuk memajukan dan memberi
pelindungan profesi kepada pustakawan.
(3) Setiap pustakawan menjadi anggota organisasi
profesi.
(4) Pembinaan dan pengembangan organisasi profesi
pustakawan difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
Pasal 35
Organisasi profesi pustakawan mempunyai kewenangan:
a. menetapkan dan melaksanakan anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga;
b. menetapkan dan menegakkan kode etik pustakawan;
c. memberi pelindungan hukum kepada pustakawan;
dan
d. menjalin kerja sama dengan asosiasi pustakawan
pada tingkat daerah, nasional, dan internasional.
Pasal 36
(1) Kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
huruf b berupa norma atau aturan yang harus
dipatuhi oleh setiap pustakawan untuk menjaga
kehormatan, martabat, citra, dan profesionalitas.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat secara spesifik sanksi pelanggaran kode etik
dan mekanisme penegakan kode etik.
Pasal 37
(1) Penegakan kode etik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (2) dilaksanakan oleh Majelis
Kehormatan Pustakawan yang dibentuk oleh
organisasi profesi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi profesi
pustakawan diatur dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga.
BAB IX
SARANA DAN PRASARANA
Pasal 38
(1) Setiap penyelenggara perpustakaan menyediakan
sarana dan prasarana sesuai dengan standar nasional
perpustakaan.
(2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dimanfaatkan dan dikembangkan sesuai
dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi.
BAB X
PENDANAAN
Pasal 39
(1) Pendanaan perpustakaan menjadi tanggung jawab
penyelenggara perpustakaan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan
anggaran perpustakaan dalam anggaran pendapatan
dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD).
Pasal 40
(1) Pendanaan perpustakaan didasarkan pada prinsip
kecukupan dan berkelanjutan.
(2) Pendanaan perpustakaan bersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. sebagian anggaran pendidikan;
c. sumbangan masyarakat yang tidak mengikat;
d. kerja sama yang saling menguntungkan;
e. bantuan luar negeri yang tidak mengikat;
f. hasil usaha jasa perpustakaan; dan/atau
g. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 41
Pengelolaan dana perpustakaan dilakukan secara efisien,
berkeadilan, terbuka, terukur, dan bertanggung jawab.
BAB XI
KERJA SAMA DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Kerja Sama
Pasal 42
(1) Perpustakaan melakukan kerja sama dengan berbagai
pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka.
(2) Peningkatan layanan kepada pemustaka sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan
jumlah pemustaka yang dapat dilayani dan
meningkatkan mutu layanan perpustakaan.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
peningkatan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring
perpustakaan yang berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 43
Masyarakat berperan serta dalam pembentukan,
penyelenggaraan, pengelolaan, pengembangan, dan
pengawasan perpustakaan.
BAB XII
DEWAN PERPUSTAKAAN
Pasal 44
(1) Presiden menetapkan Dewan Perpustakaan Nasional
atas usul Menteri dengan memperhatikan masukan
dari Kepala Perpustakaan Nasional.
(2) Gubernur menetapkan Dewan Perpustakaan Provinsi
atas usul kepala perpustakaan provinsi.
(3) Dewan Perpustakaan Nasional bertanggung jawab
kepada Presiden dan Dewan Perpustakaan Provinsi
bertanggung jawab kepada gubernur.
(4) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) berjumlah 15 (lima belas) orang yang berasal dari:
a. 3 (tiga) orang unsur pemerintah;
b. 2 (dua) orang wakil organisasi profesi
pustakawan;
c. 2 (dua) orang unsur pemustaka;
d. 2 (dua) orang akademisi;
e. 1 (satu) orang wakil organisasi penulis;
f. 1 (satu) orang sastrawan;
g. 1 (satu) orang wakil organisasi penerbit;
h. 1 (satu) orang wakil organisasi perekam;
i. 1 (satu) orang wakil organisasi toko buku; dan
j. 1 (satu) orang tokoh pers.
(5) Dewan perpustakaan dipimpin oleh seorang ketua
dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan
oleh anggota dewan perpustakaan.
(6) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) bertugas:
a. memberikan pertimbangan, nasihat, dan saran
bagi perumusan kebijakan dalam bidang
perpustakaan;
b. menampung dan menyampaikan aspirasi
masyarakat terhadap penyelenggaraan
perpustakaan; dan
c. melakukan pengawasan dan penjaminan mutu
layanan perpustakaan.
Pasal 45
(1) Dewan Perpustakaan Nasional dalam melaksanakan
tugas dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja
negara.
(2) Dewan Perpustakaan Provinsi dalam melaksanakan
tugas dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja
daerah.
Pasal 46
Dewan perpustakaan dapat menjalin kerja sama dengan
perpustakaan pada tingkat daerah, nasional, dan
internasional untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (6).
Pasal 47
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan
tata kerja, tata cara pengangkatan anggota, serta
pemilihan pimpinan dewan perpustakaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PEMBUDAYAAN KEGEMARAN MEMBACA
Pasal 48
(1) Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui
keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
(2) Pembudayaan kegemaran membaca pada keluarga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah melalui buku
murah dan berkualitas.
(3) Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengembangkan dan
memanfaatkan perpustakaan sebagai proses
pembelajaran.
(4) Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempattempat
umum yang mudah dijangkau, murah, dan
bermutu.
Pasal 49
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan
rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran
membaca.
Pasal 50
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan
mendorong pembudayaan kegemaran membaca
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) sampai
dengan ayat (4) dengan menyediakan bahan bacaan
bermutu, murah, dan terjangkau serta menyediakan
sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses.
Pasal 51
(1) Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan
melalui gerakan nasional gemar membaca.
(2) Gerakan nasional gemar membaca sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah dengan
melibatkan seluruh masyarakat.
(3) Satuan pendidikan membina pembudayaan
kegemaran membaca peserta didik dengan
memanfaatkan perpustakaan.
(4) Perpustakaan wajib mendukung dan
memasyarakatkan gerakan nasional gemar membaca
melalui penyediaan karya tulis, karya cetak, dan
karya rekam.
(5) Untuk mewujudkan pembudayaan kegemaran
membaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perpustakaan bekerja sama dengan pemangku
kepentingan.
(6) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan
penghargaan kepada masyarakat yang berhasil
melakukan gerakan pembudayaan gemar membaca.
(7) Ketentuan mengenai pemberian penghargaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 52
(1) Semua lembaga penyelenggara perpustakaan yang
tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 22
ayat (2), Pasal 23, dan Pasal 24 dikenai sanksi
administratif.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan
untuk melaksanakan Undang-Undang ini harus
diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak
berlakunya undang-undang ini.
Pasal 54
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 Nopember 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Nopember 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 129
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 TAHUN 2007
TENTANG
PERPUSTAKAAN
I. UMUM
Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan
budaya umat manusia. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya
suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki.
Hal itu karena ketika manusia purba mulai menggores dinding gua
tempat mereka tinggal, sebenarnya mereka mulai merekam
pengetahuan mereka untuk diingat dan disampaikan kepada pihak
lain. Mereka menggunakan tanda atau gambar untuk
mengekspresikan pikiran dan/atau apa yang dirasakan serta
menggunakan tanda-tanda dan gambar tersebut untuk
mengomunikasikannya kepada orang lain. Waktu itulah eksistensi dan
fungsi perpustakaan mulai disemai. Penemuan mesin cetak,
pengembangan teknik rekam, dan pengembangan teknologi digital
yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi mempercepat
tumbuh-kembangnya perpustakaan. Pengelolaan perpustakaan
menjadi semakin kompleks. Dari sini awal mulai berkembang ilmu dan
teknik mengelola perpustakaan.
Perpustakaan sebagai sistem pengelolaan rekaman gagasan,
pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, mempunyai
fungsi utama melestarikan hasil budaya umat manusia tersebut,
khususnya yang berbentuk dokumen karya cetak dan karya rekam
lainnya, serta menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan
pengetahuan umat manusia itu kepada generasi-generasi selanjutnya.
Sasaran dari pelaksanaan fungsi ini adalah terbentuknya masyarakat
yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat.
Di sisi lain, perpustakaan berfungsi untuk mendukung Sistem
Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perpustakaan merupakan pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan,
teknologi, kesenian, dan kebudayaan. Selain itu, perpustakaan sebagai
bagian dari masyarakat dunia ikut serta membangun masyarakat
informasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana
dituangkan dalam Deklarasi World Summit of Information Society–
WSIS, 12 Desember 2003.
Deklarasi WSIS bertujuan membangun masyarakat informasi yang
inklusif, berpusat pada manusia dan berorientasi secara khusus pada
pembangunan. Setiap orang dapat mencipta, mengakses,
menggunakan, dan berbagi informasi serta pengetahuan hingga
memungkinkan setiap individu, komunitas, dan masyarakat luas
menggunakan seluruh potensi mereka untuk pembangunan
berkelanjutan yang bertujuan pada peningkatan mutu hidup.
Indonesia telah merdeka lebih dari 60 (enam puluh) tahun, tetapi
perpustakaan ternyata belum menjadi bagian hidup keseharian
masyarakat. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa perlu
dikembangkan suatu sistem nasional perpustakaan. Sistem itu
merupakan wujud kerja sama dan perpaduan dari berbagai jenis
perpustakaan di Indonesia demi memampukan institusi perpustakaan
menjalankan fungsi utamanya menjadi wahana pembelajaran
masyarakat dan demi mempercepat tercapainya tujuan nasional
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pemberlakuan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengakibatkan ketidakjelasan kewenangan pusat dan daerah dalam
bidang perpustakaan. Keberadaan Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia sebagai LPND berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11
Tahun 1989 tidak lagi memiliki kekuatan efektif dalam melakukan
pembinaan dan pengembangan perpustakaan di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberagaman kebijakan dalam
pengembangan perpustakaan di daerah secara umum pada satu sisi
menguntungkan sebagai pendelegasian kewenangan kepada daerah.
Namun, di sisi lain dianggap kurang menguntungkan bagi
penyelenggaraan perpustakaan yang andal dan profesional sesuai
dengan standar ilmu perpustakaan dan informasi yang baku karena
bervariasinya kemampuan manajemen dan finansial yang dimiliki oleh
setiap daerah serta adanya perbedaan pemahaman dan persepsi
mengenai peran dan fungsi perpustakaan.
Sejumlah warga masyarakat telah mengupayakan sendiri pendirian
taman bacaan atau perpustakaan demi memenuhi kebutuhan
masyarakat atas informasi melalui bahan bacaan yang dapat diakses
secara mudah dan murah. Namun, upaya sebagian kecil masyarakat
ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang jumlah,
variasi, dan intensitasnya jauh lebih besar. Untuk itu, berdasarkan
Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu
menyelenggarakan perpustakaan sebagai sarana yang paling
demokratis untuk belajar sepanjang hayat demi memenuhi hak
masyarakat untuk memperoleh informasi melalui layanan
perpustakaan guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dengan adanya undang-undang ini diharapkan keberadaan
perpustakaan benar-benar menjadi wahana pembelajaran sepanjang
hayat dan wahana rekreasi ilmiah. Selain itu, juga menjadi pedoman
bagi pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan di Indonesia
sehingga perpustakaan menjadi bagian hidup keseharian masyarakat
Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi atau terbelakang
akibat faktor geografis berhak mendapatkan layanan
perpustakaan sesuai dengan kondisi setempat misalnya,
perpustakaan keliling atau perpustakaan terapung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sebagian besar naskah kuno masih dimiliki
masyarakat. Untuk memudahkan pendataan dan upaya
pelestariannya, perlu didaftarkan ke Perpustakaan
Nasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan sistem nasional perpustakaan
adalah sistem pensinergian semua jenis perpustakaan
di seluruh wilayah Negara Kesatuan RI guna lebih
efektif, efisien, dan tepat sasaran dalam mendukung
pencapaian tujuan nasional mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sistem nasional perpustakaan mempunyai
keterkaitan secara fungsional dengan sistem pendidikan
nasional khususnya pada prinsip pendidikan nasional
yang diselenggarakan sebagai pembudayaan dan
pemberdayaan termasuk di dalamnya pembelajaran
sepanjang hayat. Bahwa sistem nasional perpustakaan
dan sistem pendidikan nasional secara bersama-sama
berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang cerdas sebagai bagian yang
inheren dari pembentukan watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud transmedia adalah pengalihan bentuk
bahan perpustakaan dari bentuk tercetak ke media lain,
seperti mikrofilm, CD, digital.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Naskah kuno berisi warisan budaya karya intelektual
bangsa Indonesia yang sangat berharga dan hingga saat
ini masih tersebar di masyarakat dan untuk
melestarikannya perlu peran serta pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan standar tenaga perpustakaan
juga mencakup kualifikasi akademik, kompetensi, dan
sertifikasi.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud bahan perpustakaan yang dilarang menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1963 adalah barang-barang
cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum,
khususnya mengenai buletin, surat kabar harian, majalah
dan penerbitan berkala. Untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan keilmuan, bahan perpustakaan yang dilarang
oleh peraturan perundang-undangan disimpan sebagai
koleksi khusus Perpustakaan Nasional untuk didayagunakan
secara terbatas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penerbitan katalog induk nasional dilakukan baik secara
tercetak (hardcopy) maupun secara terdigitalisasi (softcopy).
Ayat (2)
Penerbitan katalog induk daerah dilakukan baik secara
tercetak (hardcopy) maupun secara terdigitalisasi (softcopy).
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Dengan memberitahukan keberadaannya ke
Perpustakaan Nasional, suatu perpustakaan secara
formal dimasukkan dalam sistem nasional
perpustakaan untuk secara bersinergi dan terkoordinasi
dengan perpustakaan lainnya mendukung pencapaian
tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 16
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Istilah desa disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat
setempat seperti nagari, bori, naga, dan sejenisnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Koordinasi terhadap pengelolaan perpustakaan
dimaksudkan guna mewujudkan suatu sistem nasional
perpustakaan yang efektif dan efisien agar secara
sinergis mendukung pencapaian tujuan nasional
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam mengembangkan standar nasional perpustakaan,
Perpustakaan Nasional bekerja sama dan berkoordinasi
dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Koleksi nasional perlu dikembangkan karena memuat
simpanan informasi yang luas dan permanen sebagai
hasil karya budaya bangsa yang harus dilestarikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota menyelenggarakan
perpustakaan umum daerah yang dalam pengembangan
koleksinya wajib menyimpan bahan perpustakaan berupa
karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam yang
diterbitkan di daerah tersebut, atau karya tentang daerah
tersebut yang ditulis oleh warga negara Indonesia dan
diterbitkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
maupun di luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jumlah judul dalam koleksi perpustakaan perguruan tinggi
untuk mendukung pelaksanaan pendidikan diperhitungkan
berdasarkan kebutuhan untuk bacaan wajib, bacaan
penunjang, dan bacaan pengayaan wawasan keilmuan yang
terkait dengan mata kuliah yang disajikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
adalah undang-undang yang berkaitan dengan pendidikan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tenaga teknis perpustakaan adalah
tenaga non-pustakawan yang secara teknis mendukung
pelaksanaan fungsi perpustakaan, misalnya, tenaga teknis
komputer, tenaga teknis audio-visual, dan tenaga teknis
ketatausahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan
adalah Undang-Undang tentang Kepegawaian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 30
Yang dimaksud tenaga ahli di bidang perpustakaan adalah
seseorang yang memiliki kapabilitas, integritas, dan kompetensi di
bidang perpustakaan.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memajukan profesi meliputi
peningkatan kompetensi, karier, dan wawasan
kepustakawanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan prinsip kecukupan dan
berkelanjutan adalah prinsip pengalokasian anggaran yang
memungkinkan seluruh fungsi perpustakaan dapat
dilaksanakan sebagaimana mestinya, lancar, meningkat, dan
berkelanjutan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sebagian anggaran pendidikan
adalah anggaran yang dialokasikan untuk fungsi
pendidikan, yang besarnya didasarkan pada prinsip
kecukupan dan berkelanjutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Peran serta masyarakat dalam pembentukan, penyelenggaraan,
pengelolaan, pengembangan, dan pengawasan perpustakaan
dilakukan dengan mekanisme penyampaian aspirasi, masukan,
pendapat dan usulan melalui Dewan Perpustakaan.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam melakukan pengawasan dan penjaminan mutu
layanan perpustakaan, Dewan Perpustakaan Nasional
dan Dewan Perpustakaan Provinsi dapat bekerja sama
dengan lembaga independen yang kompeten.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat,
meliputi gerakan buku murah, penerjemahan, penerbitan
buku berkualitas, dan penyediaan sarana perpustakaan di
tempat-tempat umum (kantor, ruang tunggu, terminal,
bandara, rumah sakit, pasar, mall).
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Satuan pendidikan merupakan wahana paling tepat untuk
menumbuhkan kegemaran membaca sejak usia dini yang
terus dikembangkan sejalan dengan peningkatan
kemampuan peserta didik, antara lain, melalui penugasan
kepada mereka untuk mendayagunakan bahan bacaan yang
tersedia di perpustakaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4774

PERKEMBANGAN PENGINDEKSAN SUBYEK DAN KOSA KATA INDEKS

PERKEMBANGAN PENGINDEKSAN SUBYEK DAN KOSA KATA INDEKS

Perkembangan:

1.
Pengindeksan konsep
(Assigned indexing)

-->
Pengindeksan kata
Derived indexing


2.
Pengindeksan pralaras
(Pre-coordinated indexing)

-- >
Pengindeksan pascalaras
Post-coordinated indexing


3.
Bahasa indeks
Indexing language
(Controlled vocabulary atau
kosakata terkendali)


-- >
Bahasa alami
Natural language
(Free language atau kosakata bebas)

PENGINDEKSAN KONSEP (Assigned indexing atau concept indexing)
Pengindeks mempelajari isi dokumen untuk mengidentifikasi ide-ide atau KONSEP-KONSEP penting yang dibahas dalam dokumen. Kemudian ia menggunakan bahasa indeks (seperti bagan klasifikasi atau daftar tajuk subyek) untuk menetapkan notasi atau tajuk subyek yang dapat mewakili konsep-konsep tsb. (to assign = menunjuk, menetapkan, menentukan)

Dalam assigned indexing atau concept indexing pengindeks tidak sekedar mengambil kata-kata yang ditemukannya dalam dokumen, tetapi harus mengenali konsep-konsep yang berada di belakang kata-kata tsb. Dengan demikian pemakai atau penelusur sistem temu balik informasi dapat menemukan kembali (retrieve) semua dokumen tentang konsep tertentu, meskipun istilah yang ia gunakan untuk konsep tsb. berbeda dari istilah yang digunakan penyusun dokumen atau istilah yang digunakan dalam sistem temu kembali tsb. untuk konsep tsb.

Ciri-ciri:
· Menggunakan bahasa indeks atau kosa kata terkendali (controlled vocabulary)
· Gangguan atau noise akibat adanya sinonim dan homonim teratasi
· Hubungan antar konsep terlihat lewat acuan ? lihat juga? atau ?see also?, atau karena subyek yang berhubungan ditempatkan berdekatan dalam urutan sistematis
· Penelusuran dapat diperluas/dipersempit
· Tidak dapat dikerjakan secara mekanis (oleh komputer))
· Memerlukan kemampuan intelektual

PENGINDEKSAN KATA (Derived indexing)
Pengindeks mengambil kata/istilah sebagaimana adanya dari judul dokumen, abstrak dokumen atau teks seluruh dokumen. (to derive = mengambil atau memperoleh dari). Juga disebut term indexing.

Ciri-ciri:
· Menggunakan bahasa dokumen, jadi bahasa alami atau kosa kata tak terkendali
· Ada gangguan atau noise akibat sinonim dan homonim
· Mudah dikerjakan, tidak memerlukan kemampuan intelektual
· Dapat dikerjakan secara mekanis oleh komputer
PENGINDEKSAN PRALARAS (Pre-coordinate indexing)
Penggabungan konsep-konsep untuk menyatakan suatu subyek majemuk dilakukan pada tahap pengindeksan (tahap input).


PENGINDEKSAN PASCALARAS (Post-coordinate indexing)
Penggabungan konsep-konsep subyek majemuk dilakukan pada tahap penelusuran (output).


BAHASA INDEKS (Indexing language (Controlled vocabulary atau kosakata terkendali)
Daftar istilah atau notasi yang dapat digunakan sebagai titik temu (access points) dalam suatu indeks, dan sarana-sarana yang dapat menunjukkan hubungan antar istilah.
Untuk penjelasan dan contoh-contoh: lihat bahan kuliah tentang topik Pengindeksan & Bahasa Indeks dari Mk Dasar-Dasar Organisasi Informasi.


BAHASA ALAMI ((Natural language, free language, uncontrolled vocabulary)
Kata-kata atau istilah-istilah yang terdapat dalam judul, abstrak atau teks dokumen.

= = = = = = = = = = = == = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

PENGINDEKSAN KATA
Pengindeksan yang menggunakan bahasa alami.
Dapat didasarkan pada:

1. Judul dokumen (permuted title indexing) Hasil:
a) Indeks kata kunci (Catchword title index)
b) Indeks KWIC (Keyword in context)
c) Indeks KWOC (Keyword out of context)

2. Penggabungan bibliografi (bibliographic coupling) Hasil:
a) Indeks sitiran (citation index)

3. Abstrak
4. Seluruh teks dokumen


JUDUL DOKUMEN
Keuntungan:
· Tidak memerlukan pemikiran pada tahap input
· Bisa dikerjakan komputer
· Proses pengindeksan cepat dan murah
· Mencerminkan terminologi mutakhir

Kerugian:
· Tidak semua judul menunjukkan subyek dokumen
· Cakupan dokumen sering lebih khusus daripada yang dinyatakan dalam judul
· Judul hanya menunjukkan tema utama dokumen
· Perolehan rendah, meskipun ketepatan tinggi
· Tidak memandu penelusur ke istilah-istilah yang sama artinya (sinonim) atau berkaitan

Indeks kata kunci (Catchword title index)
Manipulasi kata-kata dalam judul sehingga semua konsep secara bergilir menjadi titik temu (access point).
Kata(-kata) yang menjadi kata kunci ditempatkan di sebelah kiri (awal baris), diikuti oleh sisa judul.
Harus dikerjakan menurut peraturan tertentu, dan masih memerlukan pemikiran.
Lihat contoh: Foskett. The Subject Approach to Information, 4th ed. p.39.

Indeks KWIC
Tiap kata yang signifikan menjadi titik temu seperti pada indeks kata kunci, tetapi kata kunci ditempatkan di tengah baris, dengan sisa judul sebelah kanan dan kirinya.
Diperkenalkan oleh H.P. Luhn dari IBM.
Masalah: bagaimana memilih kata yang signifikan?
Harus ada stoplist berisi kata-kata yang tidak berguna sebagai titik temu, misalnya kata sandang (a, the) dan kata-kata lain seperti and, very, also, he, she, where, dsb.
Lihat contoh: Foskett. The Subject Approach to Information. 4th ed. p.40.

Indeks KWOC
Tiap kata yang signifikan menjadi titik temu dan ditempatkan di sebelah kiri (awal baris), diikuti oleh judul lengkap.
Lihat contoh: Foskett. The Subject Approach to Information. 4th ed. p.41-44.


Sistem-sistem pengindeksan ini menghasilkan sejumlah besar entri untuk tiap dokumen. Jumlahnya tergantung dari banyaknya kata yang dinilai signifikan dalam judul. Oleh sebab itu sistem-sistem ini biasanya dipakai untuk membuat indeks yang mengacu ke entri dengan data bibliografi, bukan sebagai tajuk untuk entri lengkap.

PENGGABUNGAN BIBLIOGRAFI
Didasarkan atas asumsi bahwa ada hubungan antara suatu dokumen dan sumber-sumber yang dikutip (di-sitir atau cited) dalam dokumen tsb. Jika dua dokumen mengutip sumber yang sama, maka tidak saja terdapat hubungan antara kedua dokumen ini dengan sumber asli, tetapi juga ada hubungan (link ) antara kedua dokumen tsb. Teknik ini disebut bibliographic coupling karena memanfaatkan bibliografi atau daftar pustaka dalam dokumen. Hasilnya adalah indeks sitasi atau citation index, misalnya: Science Citation Index, Social Sciences Citation Indes, Arts and Humanitiies Citation Index, dan indeks berbentuk pangkalan data seperti SCISEARCH, SOCIAL SCISEARCH dan ARTS and HUMANITIES SEARCH.

Keuntungan:

· Tidak perlu menetapkan tajuk subyek atau kata kunci, jadi tidak perlu pemikiran. Dikerjakan oleh komputer yang dengan bantuan paket perangkat lunak yang tepat mengolah sitasi (bibliografi) dari dokumen yang diindeks. Luaran (output) berupa indeks-indeks (tercetak atau dalam bentuk terbacakan mesin).
· Dengan menggunakan sejumlah dokumen sumber terbatas, sebagian besar literatur bidang bersangkutan dapat terjangkau. Misalnya dengan mengidentifikasi jurnal utama atau terpenting (key journals) bidang tertentu, lewat bibliografi yang melengkapi artikel-artikel jurnal tsb. dapat terjaring sejumlah besar artikel lain yang berhubungan.
· Tidak ada masalah dengan peristilahan atau terminologi. Pengindeksan tipe ini tidak terganggu oleh masalah yang mempersulit pengindeksan subyek seperti munculnya istilah-istilah baru, istilah teknis vs istilah umum, dan variasi lain dalam terminologi.
· Bahasa dokumen tidak menjadi masalah: bahasa dokumen sumber dan dokumen yang disitir tidak perlu sama.
· Memungkinkan penelusuran yang tepat dan langsung.
· Hasil bisa dibuat lebih komprehensif dengan penelusuran siklis. Penelusuran siklis dapat menujukkan perspektif historis perkembangan bidang subyek dan dokumen-dokumen penting yang merekam tonggak-tonggak perkembangan tsb.
· Dapat menunjukkan perkembangan yang bersifat lintas disiplin (cross-disciplinary). Indeks-indeks tradisional biasanya terbatas pada satu disiplin ilmu saja.
· Cakupan tidak terbatas pada tahun tertentu. Dokumen yang terdaftar dalam indeks biasa dalam terbitan bulan/nomor tertentu lazimnya hanya mencakup terbitan mutakhir atau sampai setahun sebelumnya. Indeks sitasi dapat mencakup dokumen periode lebih lama (beberapa tahun).

Kekurangan:
· Sitasi yang tidak standar, lengkap atau taat azas mempersulit penyusunan indeks sitasi. Dapat menimbulkan keraguan apakah sitasi yang tampaknya sama memang mengacu ke dokumen yang sama, atau menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi dokumen yang dikutip.
· Indeks sitasi didasarkan pada asumsi bahwa ada hubungan antara dokumen-dokumen. Namun alasan mengapa pengarang mensitir dokumen lain tidak selalu alasan serius atau ilmiah. Tidak selalu berarti pengarang benar-benar menggunakan gagasan atau temuan dari artikel yang disitir.
· Tidak semua tipe dokumen bermanfaat sebagai sumber untuk bibliographic coupling.
· Biasanya literatur sumber untuk indeks sitasi adalah sekelompok jurnal. Akibatnya literartur dalam bentuk monograf kurang terwakili.


PENGINDEKSAN BERDASARKAN ABSTRAK
Menghasilkan indeks dengan ketelitian atau precision yang cukup tinggi.

PENGINDEKSAN BERDASARKAN SELURUH TEKS DOKUMEN
Pengindeksan otomatis (automatic indexing) hanya dapat dilakukan apabila sistem tsb telah computerized, dan teks dokumen berformat machine-readable text (teks yang terbacakan mesin).
Harus ada stoplist untuk mencegah pengindeksan berdasarkan kata yang tidak signifikan seperti kata sandang, kata depan, kata sambung, dsb. Komputer kemudian menyusun semacam daftar peringkat kata berdasarkan frekuensi pemunculan kata. Yang berada di atas sekali menjadi kata indeks atau index terms. Batas antara kata yang dipilih dan tidak dipilih a.l. dapat tergantung dari jumlah absolut, jumlah relatif (tergantung panjang teks). Ada pula sistem yang diprogram untuk memilih kombinasi kata atau frase, memilih akar kata, memberi bobot (weighting) pada akar, kata, frase. Selain kriteria frekuensi ada pula cara lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan relevansi, yaitu dengan mengindeks kalimat pertama dan terakhir dari tiap paragraf saja, berdasarkan asumsi bahwa kalimat pertama biasanya merupakan kalimat topic (topic sentence), atau kalimat yang mengandung inti seluruh paragraf, dan bila tidak demikian, maka dalam banyak kasus kalimat terakhir yang merupakan kalimat topik.


PENGINDEKSAN PRALARAS (PRE-COORDINATE INDEXING)

Disebut pre-coordinate sebab koordinasi atau penggabungan istilah indeks untuk deskripsi indeks dilakukan pada tahap masukan atau input, jadi sebelum (= pra- ) penelusuran dilakukan. Terutama digunakan untuk indeks tercetak seperti dalam majalah indeks dan abstrak, bibliografi nasional, indeks majalah, dan juga katalog subyek di perpustakaan.

Ciri:
1. Subyek majemuk diperlakukan sebagai satu kesatuan
2. Pembentukan subyek majemuk dikerjakan pada tahap pengindeksan (input)
3. Perlu urutan sitiran (citation order) agar pengindeksan taat azas

Masalah:
1. Urutan sitiran tidak dapat memuaskan semua pemakai
2. Dokumen berisi informasi yang multi-dimensional bila disajikan secara linear hanya dapat didekati dari salah satu unsurnya

Masalah ini timbul karena sistem pralaras adalah ?sistem satu tempat? atau one-place system. Konsep primer atau faset yang disebut atau di-cite pertama menjadi titik temu, konsep lain tersembunyi. Meskipun demikian sistem seperti ini tetap diperlukan, juga dalam abad komputer, sebab:

1. Pertimbangan ekonomis: sangat berguna apabila dalam indeks, bibliografi atau katalog untuk pendekatan subyek tiap dokumen akan diwakili oleh satu entri subyek saja.
2. Pertimbangan praktis: dokumen hanya bisa ditempatkan di satu tempat, meskipun isinya multi-dimensional


Pendekatan berabjad (Alphabetical subject appraoah)

Baca: Rowley. Organising Knowledge: An Introduction to Information Retrieval. Chapter 7.
Foskett. The Subject Approach to Information. 4th ed. Chapter 7 (p.95 - 102)

Salah satu masalah penting dalam pengindeksan pralaras adalah urutan sitasi. Perlunya prinsip-prinsip untuk menentukan urutan sitasi, khususnya untuk tajuk subyek, telah disadari sejak daftar-daftar tajuk subyek mulai digunakan untuk organisasi informasi.

1. Charles Ammi Cutter dan Cutter?s Rules for a Dictionary Catalogue (1876)
Pencetus berbagai prinsip dan kebijakan yang hingga kini masih penting karena menjadi landasan bagi Library of Congress Subject Headings dan Sears? List of Subject Headings.
Cutter belum berhasil memberi pemecahan yang memuaskan, tetapi mengidentifikasi berbagai masalah lewat contoh-contoh dalam Rules for a Dictionary Catalogue. Cutter merekomendasikan penggunaan urutan kata bahasa alami, dan ini mengakibatkan bahwa kadang-kadang kata pertama dari tajuk adalah kata yang kurang signifikan. Untuk mencegah ini Cutter mengizinkan inversi atau pembalikan kata, apabila kata kedua dianggap lebih penting. Masalahnya ialah siapa yang menentukan lebih penting tidaknya kata kedua?
Untuk beberapa kasus Cutter memberikan petunjuk untuk urutan sitasi. Misalnya untuk subyek dan tempat, Cutter berpendapat bahwa subyek harus mendahului tempat jika topiknya bidang sains, tetapi untuk sejarah, ilmu pemerintahan dan perdagangan, sebaliknya.

2. Kaiser dan Systematic Indexing (1911)
Kaiser adalah orang pertama yang mempunyai pendekatan yang konsisten terhadap masalah urutan sitasi. Titik tolak Kaiser ialah bahwa banyak subyek komposit apabila dianalisis dapat dijadikan kombinasi dari suatu benda konkrit dan suatu proses. Urutan sitasi yang dianjurkan: Concrete - Process. Misalnya dokumen ?Servicing of ships? diindeks sebagai: Ships; Servicing. Jika konsep tempat ditemukan dalam dokumen maka Kaiser membuat entri ganda, sekali pada Concrete dan sekali lagi pada Tempat. Misalnya dokumen ?Shipbuilding in Japan? akan diindeks : Shipbuilding - Japan, dan Japan - Shipbuilding.
3. Coates dan Subject Catalogues.
Sumbangan pemikiran Coates sangat besar artinya bagi perkembangan prinsip-prinsip perumusan tajuk subyek. Ia selama bertahun-tahun (1963 -1976) editor British Technology Index, yang sekarang menjadi Current Technology Index, dan ide-idenya diterapkan dalam indeks ini. Ia mempelajari teori Kaiser dan menyetujui urutan sitasi Concrete - Process, tetapi menyebutnya Thing - Action. Prinsip ini dikembangkannya lebih lanjut menjadi: Thing - Part - Material - Action.

Masalah-masalah sistem pralaras
Kelemahan sistem pralaras sebagai sistem satu tempat dapat diatasi dengan cara:
A. Entri tunggal ditambah acuan-acuan
B. Entri berganda

A. Entri tunggal dengan acuan silang

Contoh:
Subyek dokumen: Heat treatment of aluminium
Entri indeks: Aluminium : heat treatment (Concrete : Process)
Acuan: Heat treatment see also Aluminium : Heat treatment
atau: Heat treatment : Aluminium see also Aluminium : Heat treatment

Masalah: bagaimana dengan subyek dokumen yang terdiri atas banyak konsep?
Contoh: ?The manufacture of multiwall kraft paper sacks for the packaging of cement?
Entri indeks: CEMENT, packaging, sacks, paper, kraft, multiwall, manufacture

Permutasi istilah-istilah dalam tajuk ini supaya tiap istilah mendapat giliran sebagai istilah pertama, kedua, ketiga, dsb. (agar semua variasi dalam mengkombinasikan istilah tercakup) akan menghasilkan acuan-acuan silang yang luar biasa banyaknya. Untuk tajuk yang terdiri atas 6 konsep diperlukan 720 acuan. Maka perlu dicarikan metode ekonomis untuk memilih acuan mana yang perlu dibuat.

Chain procedure (prosedur berangkai)
Metode dari Ranganathan untuk membuat acuan berjumlah kecil tetapi yang membuat tiap istilah menjadi istilah pertama atau titik temu.

Tajuk A : B : C : D
Acuan: (1) D : C : B : A lihat A : B : C : D
(2) C : B : A lihat A : B : C
(3) B : A lihat A : B

Metode ini sangat ekonomis sebab jika kemudian ada dokumen dengan tajuk A : B : C : E, maka acuan yang perlu dibuat hanya:

E : C : B : A lihat A : B : C : E

Acuan lain (2) dan (3) sudah ada dan tidak perlu diulang lagi.


Cycling (Pemutaran):
Tiap istilah secara bergilir menjadi istilah pertama.

Tajuk: A : B : C : D
Acuan: (1) B : C : D : A lihat A : B : C : D
(2) C : D : A : B lihat A : B : C : D
(3) D : A : B : C lihat A : B : C : D


Rotation (Rotasi):
Tiap istilah secara bergilir menjadi titik temu tetapi tidak berpindah tempat. Pada metode lain urutan istilah berubah.

Tajuk: A : B : C : D
Acuan: (1) A : B : C : D lihat A : B : C : D
(2) A : B : C : D lihat A : B : C : D
(3) A : B : C : D lihat A : B : C : D


PRECIS (PREserved Context Indexing System)
Digunakan dalam indeks tercetak yang diproduksikan dengan bantuan komputer. Konsep-konsep dalam suatu subyek dinyatakan dengan menggunakan istilah-istilah yang diambil dari daftar kosa kata terkendali. Tiap istilah menjadi titik temu secara bergilir, dan rangkaian istilah diperagakan sedemikian rupa sehingga konteks istilah terlihat dengan jelas. Tiap entri terdiri atas suatu ?lead term? dan istilah-istilah yang menunjukkan konteks (Qualifier), sedangkan istilah-istilah yang lebih khusus ditempatkan pada baris kedua (Display). Istilah-istilah berpindah tempat berdasarkan teknik ?shunting?.

LEAD Qualifier
Display


A
B ¾ C ¾ D

B ¾ A
C ¾ D

C ¾ B ¾ A
D

D ¾ C ¾ B ¾ A

Contoh:

Canada
Paper industries. Personnel

Paper industries. Canada
Personnel

Personnel. Paper industries. Canada

PRECIS memakai ?role operators? yang menunjukkan peran suatu istilah dalam konteks subyek ybs. Pengindeks menentukan ?role operator? untuk tiap istilah. Dengan demikian komputer mengetahui bagaimana istilah-istilah harus dimanipulasikan agar urutan istilah sesuai dengan prinsip-prinsip PRECIS. Hingga Januari 1991 PRECIS digunakan untuk membuat entri-entri indeks British National Bibliography, dan kemudian diganti dengan COMPASS (Computer Aided Subject System).

Bagan Klasifikasi

Komponen bagan klasifikasi:
1. Bagan: daftar subyek-subyek yang disusun secara sistematis sehingga hubungan antar subyek tampak;
2. Notasi: kode, yang menunjukkan tempat subyek dalam urutan sistematis, dan yang mewakili subyek dalam indeks, katalog, atau sarana bibliografi lain;
3. Indeks: sarana yang menunjukkan tempat subyek dalam urutan sistematis (dalam bagan).

Sebagai unsur penunjang yang sangat ikut menentukan terpakai tidaknya suatu bagan klasifikasi, perlu ada badan atau organisasi yang menerbitkan, mempromosikan, dan merevisi bagan.

Bagan

Bagan, atau daftar subyek sistematis adalah inti atau jantung bagan klasifikasi. Bagan menentukan subyek-subyek dan hubungan-hubungan antar subyek yang dapat diperagakan.

Ciri-ciri bagan yang efektif:

Untuk kelas-kelas utama:
1. Semua disiplin ilmu utama harus terwakili dalam bagan klasifikasi umum, agar semua subyek dapat diklasifikasi dengan bagan tsb.
2. Tempat yang diberikan dalam bagan pada suatu disiplin ilmu harus proporsional. Artinya: sebanding dengan volume literatur disiplin ilmu tsb. Kesalahan dalam penjatahan tempat akan mengakibatkan subyek dengan literatur terbatas terbagi atas terlampau banyak kelas/subdivisi, sehingga ada banyak subdivisi yang tidak atau jarang dipakai. Sebaliknya, subyek dengan banyak literatur yang mendapat jatah yang sama atau tidak sebanding akan terbagi atas kelas/subdivisi yang harus menampung subyek dengan cakupan yang terlampau luas.
3. Kelas-kelas yang berhubungan harus berdekatan dalam bagan, sebab salah satu tujuan klasifikasi ialah mengelompokkan subyek-subyek yang berkaitan. Misalnya: Bahasa ¾ Sastra, Kedokteran ¾ Fisiologi, Botani ¾ Pertanian.
4. Kemampuan menampung perubahan dalam kelas utama untuk mencerminkan:
a) perluasan disiplin ilmu yang sedang berkembang, diukur dari semakin besarnya volume literatur (misalnya ilmu komputer dan cabang ilmu-ilmu sosial tertentu)
b) berkurangnya volume literatur disiplin ilmu yang stabil atau kurang berkembang, seperti misalnya agama dan filsafat
c) perubahan hubungan antar disiplin, dan berkembangnya bidang-bidang interdisipliner seperti energi, keselamatan industri/lingkungan kerja.

Syarat-syarat untuk pembagian subyek di dalam masing-masing kelas:
1. Harus ada tempat yang jelas untuk setiap subyek sederhana. Misalnya: puisi di dalam disiplin ilmu sastra, laser di kelas fisika.
2. Harus ada tempat yang jelas untuk setiap subyek majemuk yang mungkin muncul dalam literatur. Misalnya: puisi Jerman abad ke-19 ; penggunaan serat optik untuk televisi.
3. Urutan subyek harus sistematis dan dapat diterima oleh mayoritas pemakai indeks dan koleksi, dan memudahkan browsing karena dokumen yang saling berkaitan tersusun berdekatan di rak buku.
4. Harus ada mekanisme yang memungkinkan perubahan agar cakupan subyek dapat dimodifikasi untuk dapat menampung literatur baru.
a) Harus ada tempat untuk subyek sederhana dan majemuk baru.
b) Topik yang tidak lagi menjadi pokok bahasan literatur baru pada saat yang sesuai harus dapat dikeluarkan (dihapus) dari bagan.
c) Harus dapat menampung perubahan dalam hubungan antar subyek.
5. Bagan harus dipublikasikan (diterbitkan), sehingga bagan dapat digunakan oleh mereka yang memerlukannya


Untuk memenuhi kriteria di atas penyusun bagan klasifikasi dapat menempuh dua jalur, yaitu dengan menyusun:

1. Bagan klasifikasi enumeratif
2. Bagan klasifikasi berfaset

Bagan klasifikasi enumeratif:
Bagan klasifikasi enumeratif berupaya mendaftarkan semua subyek, yang sederhana maupun yang majemuk, yang ada dalam literatur yang akan diklasifikasi.

Cara penyusunan bagan enumeratif:
1. Identifikasi disiplin ilmu yang termasuk cakupan bagan. Tiap disiplin ilmu menjadi kelas utama.
2. Tiap kelas utama dibagi lebih lanjut hingga menghasilkan kelas-kelas yang cukup khusus (spesifik) dan tiap subyek mendapat tempat. Satu subyek harus mendapat satu tempat.

Kelemahan:
1. Bagan enumeratif tidak memungkinkan penggabungan subyek/konsep. Subyek kompleks/majemuk yang tidak terdaftar (tidak ada tempatnya sendiri), tidak dapat dinyatakan. Pengindeks terpaksa menempatkan dokumen dengan subyek majemuk tsb. dalam kelas yang paling mendekati (mewakili salah satu subyek atau konsep).
2. Sering terjadi kesalahan dalam pembagian kelas, sebab penyusun tidak konsisten dalam menerapkan ciri pembagian.
3. Daftar akan menjadi sangat panjang apabila semua subyek didaftar. Harus ada seleksi. Dokumen dengan subyek kompleks/majemuk yang tidak terdaftar terpaksa ditempatkan dalam kelas yang lebih umum, dan tidak dapat dibedakan dari dokumen yang memang membahas subyek yang lebih umum tsb. Seleksi yang perlu dilakukan tidak mungkin akan cocok untuk semua perpustakaan, maka sulit menyusun bagan enumeratif bisa yang sesuai untuk berbagai jenis perpustakaan.
4. Klasifikasi silang cenderung terjadi karena berorientasi pada disiplin ilmu. Satu subyek terdapat pada beberapa tempat.
5. Sulit direvisi. Subyek baru harus ditampung, tetapi untuk memberikannya tempat yang tepat, urutan subyek yang telah ada harus diubah, sehingga seluruh kelas harus direvisi.

Bagan klasifikasi enumeratif memang banyak masalahnya, namun tetap cukup efektif untuk organisasi informasi. Kebanyakan bagan klasifikasi umum yang hingga kini dipakai secara luas adalah bagan emumeratif. Contoh: LC, DDC.

Bagan klasifikasi berfaset
Bagan berfaset mendaftarkan faset-faset atau konsep-konsep tunggal yang dapat dikenali dalam bidang-bidang subyek bagan, dan menyediakan mekanisme atau sarana yang memungkinkan penggabungan dua atau lebih faset.

Bagan berfaset didasarkan atas analisis faset. Konsep-konsep tunggal (isolat) yang menjadi subyek dokumen diidentifkasi, kemudian dengan menggunakan berbagai ciri pembagian akan diperoleh beberapa kelompok isolat. Kelompok isolat yang diperoleh lewat pembagian dengan satu ciri pembagian adalah satu faset. Isolat yang sudah menjadi anggota suatu faset, sekarang disebut fokus (tunggal) - foci (jamak).

Untuk menyatakan subyek kompleks/majemuk faset-faset yang terdaftar dapat dikombinasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk bagan tsb. Karena mencakup kegiatan analisis (pada tahap penyusunan bagan) dan penggabungan (pada tahap penerapan), maka bagan tipe ini juga disebut bagan analitiko-sintetik.

Proses konstruksi bagan berfaset:
1. Identifikasi isolat dan pengelompokan isolat menjadi faset.
2. Menentukan urutan foci dalam satu faset.Diawali dengan mengidentifikasi subfaset dari satu faset (jika ada).Susunan yang lazim digunakan: sederhana ® kompleks spatial (berdasarkan tempat) atau geografis kronologis, historis, atau berdasarkan evolusi kanonik (berdasarkan urutan yang sudah umum digunakan untuk bidang ilmu tsb.) abjad
3. Tentukan urutan kombinasi faset.Bagan mendaftar subyek sederhana atau konsep tunggal, yang nanti harus dikombinasikan untuk menyatakan subyek majemuk / kompleks yang ada dalam dokumen. Untuk ini harus ditentukan urutan kombinasi atau urutan sitasi. Dalam bagan mungkin diberikan urutan sitasi untuk bidang subyek tertentu, mungkin urutan sitasi diserahkan sepenuhnya pada pemakai bagan.
4. Tentukan urutan faset dalam bagan.
5. Berikan notasi.
6. Buatkan indeks.

Notasi

Notasi berfungsi menunjukkan urutan yang telah ditetapkan untuk subyek-subyek suatu bagan. Meskipun notasi baru ditambahkan setelah subyek-subyek dan urutannya ditentukan, notasi sangat berpengaruh atas efektivitas bagan klasifikasi. Notasi yang kurang baik dapat mengurangi kemampuan bagan untuk menampung subyek baru dan menghambat temu balik informasi yang efektif.
Untuk tiap subyek harus ada notasi yang unik. Notasi yang digunakan harus sudah dikenal secara universal. Sebab itu komponen notasi terbatas pada huruf Latin dan angka Arab. Lambang-lambang lain dapat juga ditambahkan bilamana perlu, tetapi nilai urutan lambang ini harus ditetapkan karena tidak otomatis diketahui orang.

Ada 2 tipe notasi:
1. Notasi murni, yaitu notasi yang hanya menggunakan satu set lambang (karakter), misalnya DDC, yang menggunakan angka (kecuali di beberapa tempat terbatas).
2. Notasi campuran, yaitu notasi yang menggunakan campuran huruf dan angka, misalnya LC.

Kriteria untuk menilai notasi:

1. Mudah digunakan. Notasi harus mudah diingat, ditulis, diketik dan dicocokkan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemudahan menggunakan notasi:
a) Mudah diingat. Lebih mudah untuk misalnya mengingat 681.945.6 daripada 6819456, dan lebih mudah lagi untuk mengingat notasi campuran seperti 532CRM721.
b) Singkat. Makin singkat makin mudah diingat. Panjang notasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, a.l.:
i) Basis notasi, atau jumlah karakakter dalam set yang dipilih. Jika misalnya basisnya A - Z, maka 26 subyek dapat diwakili oleh notasi yang terdiri dari satu karakter. Dengan basis 1 - 9 untuk 26 subyek, maka sebagian besar subyek akan mendapat notasi yang terdiri dari lebih dari satu karakter.
ii) Alokasi notasi. Alokasi atau penjatahan mempengaruhi panjang notasi. Ketidakseimbangan dalam menetapkan notasi untuk subyek-subyek dengan volume literatur dan jumlah subdivisi yang kira-kira sama akan membuat notasi subyek tertentu panjang sekali. Misalnya: Sastra Perancis = 56 sedangkan Sastra Bulgaria = 768. Dengan sendirinya semua subdivisi sastra Bulgaria akan mempunyai notasi yang lebih panjang. Ketidakseimbangan notasi sering juga timbul akibat perkembangan subyek-subyek tertentu. Jatah yang tadinya sama menjadi semakin kurang seimbang dengan munculnya banyak subdivisi untuk subyek-subyek tertentu.
iii) Sintesis atau kombinasi dua atau lebih fokus dari bagan berfaset, disertai penggunaan indikator faset.
iv) Notasi yang ekspresif, yang dapat memperlihatkan hubungan subyek dengan subyek lain dalam bagan juga memperpanjang notasi, sebab tiap langkah pembagian ditandai dengan tambahan karakter.
c) Unsur mnemonik, yaitu sarana yang membantu pemakai lebih mudah mengingat notasi.
2. Hospitality.Notasi harus hospitable, yaitu mampu menampung subyek baru tanpa mengakibatkan kekacauan dalam urutan subyek yang telah ada. Ada dua cara untuk membuat notasi mampu menampung subyek baru, yaitu:
a) menyediakan notasi yang ?kosong? ¾ notasi yang tidak dialokasikan pada subyek ¾ dalam urutan notasi
b) menggunakan notasi desimal
3. Notasi harus ekspresif.Notasi ekspresif memperlihatkan hubungan antar subyek, dan ini membantu pemakai melihat struktur bagan dan mengidentifikasi subyek umum dan subdivisnya. Mempertahankan sifat ekspresif ini sulit jika muncul subyek-subyek baru. Notasi desimal paling mampu menunjukkan struktur hubungan, namun sistematika notasi ini pun akan terganggu jika subyek-subyek baru ditambahkan.
4. SintesisNotasi harus dapat menampung hasil sintesis, yaitu kombinasi fokus / faset yang mewakili subyek majemuk / kompleks.
5. FleksibilitasNotasi harus fleksibel agar dapat menampung beberapa urutan sitasi untuk satu subyek, apabila ini sesuai dengan isi dokumen dan diperlukan untuk memuaskan kebutuhan pemakai yang beraneka ragam. Misalnya: UDC memungkinkan pembalikan urutan notasi untuk memberikan pendekatan ganda. 766 untuk seni grafis komersial dan 659.3 untuk komunikasi masa dapat digabung menjadi 766:659.3 atau 659.3:766.
6. Notasi untuk penempatan di rak (Shelf notation)Notasi yang harus ditulis pada label yang akan ditempel di punggung buku jika perlu harus lebih singkat daripada notasi di katalog, indeks atau bibliografi. Bagi pengatalog sangat membantu apabila notasi lengkap dapat ?dipangkas? menjadi notasi ringkas yang menunjukkan kelas besar atau lebih umum dari dokumen. Notasi yang ekspresif lebih mudah diringkas, yaitu dengan menghilangkan satu atau lebih karakter paling akhir.


Indeks

Indeks yang menjadi bagian dari bagan klasifikasi mempunyai dua fungsi:
1. Menunjukkan lokasi topik dalam klasifikasi yang disusun secara sistematis.
2. Menunjukkan aspek-aspek satu subyek yang berhubungan yang dalam urutan sistematis terpencar

Ada dua jenis indeks:
1. Indeks relatif, seperti yang diusulkan oleh Melvil Dewey, yang mempunyai sekurang-kurangnya satu entri untuk tiap subyek yang terdaftar dalam bagan, dan yang mengumpulkan di satu tempat semua aspek suatu subyek konkret yang tersebar dalam bagan klasifikasi (karena urutan subyek dalam bagan mengikuti pendekatan berdasarkan disiplin ilmu).
2. Indeks spesifik, yaitu indeks yang dapat dibuat apabila dalam bagan klasifikasi ybs. tiap subyek hanya mempunyai satu tempat.


PENGINDEKSAN PASCA-LARAS

Disebut post-coordinate atau pasca-laras sebab koordinasi atau penggabungan istilah indeks dilakukan pada tahap penelusuran, jadi sesudah (post) tahap masukan. Agar dapat efektif dan efisien, untuk sistem pasca-laras diperlukan komputer.



Pada tahap masukan dokumen diindeks dengan menggunakan konsep-konsep tunggal.

Pada tahap luaran atau penelusuran harus ada mekanisme atau sarana yang memungkinkan penelusur mendapatkan (retrieve) dokumen berdasarkan satu konsep saja (satu istilah indeks), atau berdasarkan kombinasi konsep (beberapa istilah indeks).


Perkembangan sistem pasca-laras:
1. Uniterm cards (Mortimer Taube)
2. Peek-a-boo (H.W. Batten)
3. Edge notched cards
4. Computer input-output



Masalah:
False drop (= terjaringnya dokumen yang tidak relevan pada saat penelusuran)

Cara mengatasi:
1. Istilah majemuk dipralaraskan
2. Links
3. Roles
4. Weighting
5. Tesaurus sebagai sarana pengawasan kosa kata

Contoh:
Dokumen A:

?Manufacture of multiwall kraft paper sacks for the packaging of cement.?

Untuk dokumen ini pada sistem pralaras akan dibuatkan satu tajuk yang mencakup semua konsep ini, diurut menurut urutan sitasi tertentu.

Misalnya:
CEMENT: packaging : sacks : paper : kraft : multiwall : manufacture


Pada sistem pasca-laras tiap konsep penting dari suatu dokumen dijadikan istilah indeks (indexing term) yang menjadi titik temu (access point)


Istilah yang digunakan untuk mengindeks dokumen ini:

MANUFACTURE
MULTIWALL
KRAFT
PAPER
SACKS
PACKAGING
CEMENT

Dokumen ini dapat diakses lewat 7 istilah indeks
Õ SATU ISTILAH = SATU TITIK TEMU


Kelemahan:

· Entri-entri tidak bersifat spesifik. Akan ada banyak dokumen yang dapat diakses lewat istilah tertentu, sedangkan isi dokumen sesungguhnya lebih khusus daripada makna atau cakupan istilah indeks.Contoh: dokumen A akan di-retrieve apabila penelusur mencari pada istilah CEMENT.Isi dokumen jauh lebih khusus. Membahas pembuatan kantong untuk kemasan semen, bukan semen.

· Jumlah entri besar sekali.


Keuntungan:
· Tidak perlu memikirkan urutan sitasi.

· Jumlah tajuk lebih sedikit karena hanya menggunakan istilah-istilah indeks yang menyatakan konsep-konsep tunggal (foci).


Bandingkan:

Satu bidang subyek dengan 7 faset dengan masing-masing + 45 foci:

ÞDalam sistem pasca-laras maksimal hanya akan ada 45 istilah indeks.
ÞDalam sistem pralaras bisa muncul ratusan tajuk, sebab untuk tiap kombinasi foci dari berbagai faset tsb. harus ada tajuk majemuk.

Jadi dalam sistem pasca-laras:
Relatif sedikit tajuk (istilah indeks), tetapi di bawah satu istilah mungkin diindeks sejumlah besar dokumen.

Di bawah istilah indeks TIDAK akan ditemukan entri, tetapi ditemukan nomor identifikasi dokumen tsb.

Untuk mendapatkan wakil dokumen berisi data bibliografi lengkap, penelusur harus mencari dalam jajaran lain, yaitu jajaran entri yang disusun menurut nomor identifikasi atau nomor induk dokumen.


Untuk mendapatkan dokumen bersubyek majemuk penelusur menggabungan konsep tunggal (= foci yang relevan) pada saat penelusuran.



Contoh:

Deskriptor atau istilah indeks: Nomor induk:

MICROWAVES 28 79 88 133
172 211 243

POWER 12 69 172 192
196 200

COOKING 79 74 172 198 221 255

WAVEGUIDES 157 172 232

TRANSMISSION 11 44 87 150 168
172 200

TRANSPORT 11 40 93 124 172
210 229 266

ELECTRICAL ENGINEERING 50 159 172 200
247

HEATING 40 80 79 172
188 248 300


Penelusuran 1:
Yang diinginkan dokumen tentang microwaves.
Langkah-langkah penelusuran:
Penelusur mencari pada istilah indeks MICROWAVES. Ditemukan 7 nomor dokumen.
Data bibliografi lengkap harus dicari di jajaran kartu yang disusun menurut nomor dokumen.


Penelusuran 2:
Yang diinginkan dokumen tentang penggunaan microwave untuk memasak.
Harus dicari dokumen yang mencakup baik MICROWAVES maupun COOKING.
Penelusur harus mencari nomor dokumen yang diberi istilah indeks MICROWAVES dan COOKING.
Yang memenuhi kriteria penelusuran (search criteria) ini = 79 dan 172


Penelusuran 3:
Yang diinginkan dokumen yang membahas microwaves, waveguides, transmission, dan heating.
Penelusur harus memeriksa nomor dokumen yang diberi istilah indeks microwaves dan waveguides dan transmission dan heating.
Yang memenuhi kriteria penelusuran ini = 172

Untuk sistem pasca-laras harus ada sarana yang memungkinkan penelusur mendapatkan kombinasi konsep apapun dengan cepat.

Perkembangan sarana:

* UNITERM
Indeks pascalaras yang diperkenalkan oleh Mortimer Taube (1953).
UNIT + TERM ® UNITERM (satu istilah)


Menggunakan kartu-kartu indeks. Di bagian atas kartu dicatat istilah indeks, dan sisa kartu dibagi menjadi 10 kolom untuk diisi dengan nomor urut dokumen.

Langkah-langkah pengindeksan:
(dengan kartu uniterm)

1. Beri nomor urut pada dokumen yang masuk.
2. Buat deskripsi bibliografi dokumen.
3. Buat analisis subyek.
4. Tentukan istilah-istilah indeks.
5. Selesaikan cantuman bibliografi (pada kartu cantuman bibliografi).
6. Catat nomor urut pada kartu indeks yang sesuai.Nomor urut dicatat dalam kolom yang sama dengan angka (digit) terakhir dari nomor urut.
7. Untuk istilah baru, buatkan kartu indeks, dan catat nomor urut.
8. Susun kartu indeks menurut abjad.
9. Susun kartu cantuman bibliografi menurut nomor urut.Susun dokumen menurut nomor urut.

Langkah-langkah temu kembali:

1. Tentukan istilah indeks yang sesuai untuk topik yang dicari.
2. Keluarkan kartu indeks dengan istilah indeks yang sesuai. Cocokkan nomor urut yang sama pada kartu-kartu.
3. Keluarkan kartu cantuman bibliografi dengan nomor urut yang ditemukan pada langkah 2.
4. Carilah dokumen dengan nomor urut tsb.

* KARTU PEEK-A-BOO
Juga disebut Batten cards, optical coincidence cards, feature cards.
Bagian atas kartu digunakan untuk mencatat istilah indeks. Sisa kartu dibagi menjadi segi empat yang diberi nomor. Kartu kecil dapat berisi 500 s/d 1000 segi empat atau posisi. Kartu besar bisa sampai 10.000. Nomor urut dokumen ditandai dengan membuat lubang di segi empat yang menduduki urutan tsb. pada kartu. Untuk mendapatkan nomor dokumen dengan istilah indeks yang dicari, kartu-kartu dengan istilah-istilah tsb. dikeluarkan dan disusun. Nomor dokumen yang diindeks dengan istilah indeks yang sama ditemukan dengan bantuan sinar/cahaya yang menembus lubang dengan posisi yang sama.

* Edge notched cards
Menggunakan kartu dengan lubang-lubang di tepinya. Tiap lubang mewakili kode tertentu.

* Komputer
Sistem pengindeksan pasca-laras baru berkembang dengan baik dengan adanya komputer.
Komputer dengan cepat dapat membandingkan sejumlah besar istilah indeks dan nomor dokumen untuk memilih yang memenuhi kriteria penelusuran.

Sistem berbantuan komputer yang baik harus memungkinkan pengembangan strategi penelusuran dengan Boolean operators: (1) AND, (2) OR, (3) NOT


George Boole --- > ahli matematika Inggris abad ke-19
Boolean algebra, Boolean logic, Boolean operators

Mulai digunakan dalam penelusuran bibliografi (bibliographic searching) tahun 1950-an oleh a.l. C. Dake Gull, Calvin Mooers, Ralph Shaw, Mortimer Taube.


Tidak mutlak memerlukan komputer, tetapi teknik penelusuran ini baru bisa dimanfaatkan secara optimal setelah ada komputer. Sekarang penelusuran dengan boolean operators dianggap identik dengan penelusuran dengan komputer.


Masalah pengindeksan pasca-laras:

False drops = terjaringnya dokumen yang tidak relevan

Dapat disebabkan oleh:
Kosa kata tak terawasi, sehingga ada sinonim, homonim, masalah sintaksis.

Senin, 02 Juni 2008

Alan Greenspan, Sang Maestro

Alan Greenspan, Sang Maestro = Maestro: Greenspan's Fed and the American Boom. Bob Woodward. Ufuk Press, 2008.

Banyak predikat yang disandang Alan Greenspan, mantan pimpinan The Federal Resereve (The Fed) atau Bank Sentral Amerika Serikat. Ada yang menyebut sebagai ikon, maestro, dan dewa ekonomi AS, bahkan dunia.
Pemberian sebutan dari berbagai kalangan, khususnya para pelaku pasar ekonomi, ini tidak dapat dipisahkan dari sepak terjang Alan Greenspan, seperti yang terekam dalam buku karya Bob Woordward, jurnalis The Washington Post, tahun 2000.
Meski edisi Indonesianya baru keluar tahun 2008, publikasi ini tetap menarik untuk disimak. Sepak terjang mantan Ketua Penasihat Dewan Ekonomi Presiden Nixon sejak diangkat sebagai Gubernur The Fed hingga tahun 2000 dipaparkan secara rinci dalam buku ini.
Masih banyak catatan keberhasilan tokoh moneter dan finansial ulung yang mengakhiri jabatannya pada tahun 2006 ini.

Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik

Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik. Otto Syamsuddin Ishak.-- Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), 2008.

Pikiran-pikiran Otto bukan sekedar catatan peristiwa melainkan menjadikan catatan itu sebagai inspirasi baru untuk menata Aceh sekarang dan masa datang. Dalam semangat seperti itu Aceh akan menjadi inspirasi bagi semua orang di luar Aceh dan di dalam Aceh sendiri.
Aceh saat ini adalah inspirasi dalam kancah politik Republik Indonesia. Hal itu telah terwujud sejak era kolonial hingga era global ini. Keberanian dan kegigihan Aceh di masa kolonial telah menjadi inspirasi bagi perjuangan anti kolonial di seantero nusantara. Bahkan RI hasil proklamasi 17 Agustus 1945 berhutang semangat dan material pada Aceh. Pada gilirannya Aceh menjadi tiang penyangga republik muda itu untuk terwujud.
Di era global ini Aceh menghadirkan kembali inspirasi baru. Sebab Aceh telah mempertontonkan sebuah ketekunan dan keyakinandan keyakinan akan pendirian dalam melawan kekuasaan yang tiran dari republik yang ikut ia bidani hadirnya dahulu.
Artikel-artikel yang dihimpun dalam buku ini menunjukkan sikap pribadi dan keorisinalitasan sikap dan pandangan Otto terhadap perkembangan yang terjadi di Aceh dalam kurun 2000 sampai 2005.
Dalam tulisannya, Otto seperti orang membawa senjata trisula yang ketiga ujungnya sama tajamnya. Satu ujung trisula itu mengarah tajam ke arah keindonesiaan yang bangkrut di Aceh yang diwakili oleh para petinggi Indonesia di Jakarta dan di Aceh. Sula keduanya menohok ke hulu hati para petinggi Aceh yang menjadi babu para petinggi Jakarta demi merawat pundi-pundinya sendiri di belantara kekejian yang begitu berbau anyir. Sula ketiganya menghantam siapa saja yang merasa dirinya menjadi intelektual, aktivis mahasiswa, atau LSM baik di Aceh maupun Jakarta, karena Otto dalam tulisannya mengkritik sikap mendua dari para aktivis tersebut.